Menara Siger; Penanda Titik Nol Sumatera

TIBA di Lampung kurang lengkap bila tidak menyambangi Menara Siger. Dari menara ini akan tampak Pelabuhan Bakauheni, keramaian penumpang dan kendaraan serta birunya Selat Sunda dan kapal-kapal yang melintas. Amboi, indah nian!

Dibangunnya Menara Siger tak hanya sebuah identitas belaka. Tapi lebih dari itu. Kalau New York punya Patung Liberty, Paris memiliki Menara Eiffel dan Kuala Lumpur populer dengan Twin Tower. Kemudian Jakarta identik dengan Tugu Monas. Lalu Palembang membanggakan Jembatan Ampera. Nah, Lampung mempunyai ikon Menara Siger.

Menara Siger, diresmikan tanggal 30 April 2008 oleh Gubernur Lampung Sjachroedin ZP. Dengan telah dibangunnya Menara Siger, akan mendorong kemajuan Lampung. Peresmian menara, ditandai dengan penekanan sirine, penandatanganan prasasti serta penglepasan merpati bersama belasan duta besar. Mereka terdiri dari 12 duta besar negara sahabat.

Prosesi peresmian menara yang menjadi titik nol Pulau Sumatera itu dimulai dengan istigasah kubra yang melibatkan masyarakat Lampung Selatan. Istigasah juga diikuti keluarga Keraton Cirebon dan warga Kampung Cikoneng, Banten. Mereka memang sengaja di undang. Malamnya, acara dilanjutkan hiburan rakyat menampilkan film layar tancap dan pergelaran wayang kulit oleh dalang kondang Ki Mantep Sudarsono dari Jawa Tengah.

Dari awal diyakini, Menara Siger akan mendongkrak pendapatan asli daerah hingga 15 persen. Angka itu berdasarkan perkiraan, jumlah kendaraan 3.500 unit per hari dan 15 juta orang per tahun yang melintasi Pelabuhan Bakauheni. Dengan asumsi, 15 persen saja singgah ke Menara Siger, maka setiap tahun akan menghasilkan pendapatan Rp12,5 miliar.

Menara Siger dibangun di atas bukit sebelah barat Pelabuhan Bakauheni. Menara ini dibangun di Bukit Gamping, Bakauheni, Lampung Selatan. Bangunan dilengkapi dengan sarana informasi mengenai peta wisata seluruh kabupaten dan kota se-Lampung. Menara Siger bukan monumen masa lalu, tetapi bangunan masa depan yang akan jadi fenomena masyarakat Lampung.

Posisi strategis Pelabuhan Bakauheni sebagai pintu gerbang Sumatera, diibaratkan sebagai mulut naga yang memuntahkan kurang lebih 80 ribu ton hasil-hasil pertanian dari daerah Lampung per hari. Dengan penggunaan teknik ferrocement, Menara Siger dijamin mampu menahan terpaan angin kencang. Bangunan ini merupakan karya putra daerah asli Lampung, Ir. Hi. Anshori Djausal M.T. Dia arsitek yang ditunjuk untuk membangunnya.

Teknik ferrocement merupakan pengembangan tim arsitek menara, dengan menggunakan jaring kawat menyerupai jaring laba-laba. Pengerjaan lambang Siger dan beberapa ornamen, diarahkan untuk tidak menggunakan cor-coran, namun bagian per bagian dengan tangan. Dengan metode ini, diprediksi setiap inci bangunan tahan guncangan dan terpaan angin laut.

Menara Siger, kebanggaan masyarakat Lampung tersebut memang berada di atas bukit, dengan ketinggian 110 meter di atas permukaan laut. Pembangunan menara yang diawali sejak tahun 2005 itu adalah sebuah simbol. Ia bukan hanya menjadi ikon pariwisata, tetapi dapat menjadi ikon dalam segala hal; keagamaan, seni dan budaya serta pendidikan.

Menara Siger dapat memancing pengembangan kawasan pintu gerbang Pulau Sumatera. Pasca diresmikan akan masuk investasi Rp100 miliar hingga Rp200 miliar. Hal ini merupakan sebuah potensi bagi promosi kepariwisataan dan potensi ekonomi. Dengan demikian, Menara Siger ibarat gadis cantik yang akan memancing setiap orang untuk melamarnya. Maksudnya, Menara Siger akan menumbuhkan daya tarik dan magnet bagi setiap orang, termasuk daya tarik investasi.

Secara fisik, membangun Menara Siger memperhatikan ciri khas Lampung. Dalam perencanaannya Pemrov Lampung koordinasikan dengan arsiteknya. Di sekitar tugu dibangun ruang-ruang yang menampilkan budaya Lampung serta sarana-prasarana pariwisata. Sebagai tugu di ujung Pulau Sumatera, Menara Siger dilengkapi dengan tulisan penanda Titik Nol Pulau Sumatera. Menara Siger dengan warna emas itu juga dilengkapi ruangan tempat wisatawan melihat Pelabuhan Bakauheni. Lengkap dengan keindahan panorama laut dan alam sekitarnya.

Menara Siger dibangun di tanah milik PT Angkutan Sungai Danau dan Penyeberangan (ASDP) Bakauheni. Menara sepanjang 50 meter itu berada di atas bukit di sisi barat pelabuhan. Disadari kala itu Lampung belum memiliki ikon. Tidak seperti Padang yang dikenal dengan Jam Gadang, Palembang dengan Jembatan Ampera serta Jakarta dengan Monasnya. Daya tarik Menara Siger makin kuat jika dikaitkan dengan rencana pembangunan Jembatan Selat Sunda yang menghubungkan Pulau Sumatera dan Jawa. Menara itu bisa juga menjadi tempat belajar anak-anak. Sebab, dari sana dapat terlihat aktivitas pelabuhan, termasuk keluar-masuk kapal dan lainnya.

Tadinya mantan Gubernur Lampung Sjachroedin menggagas membuat Menara Siger sekitar tahun 1995. Dia yang saat itu masih aktif di kepolisian, mempunyai pemikiran untuk membuat land mark atau penanda telah berada di Lampung. Seperti di Sabang yang ada Tugu Nol Kilometer Indonesia atau Pontianak yang memiliki Tugu Khatulistiwa.

Saat itu, desainernya Anshori mengajukan desain kepadanya dengan biaya sekitar Rp40 miliar. Usulan itu tidak bisa dilaksanakan. Baru terlaksana pada masa ia menjabat gubernur. Dia menggunakan model Siger bukan sebagai lambang adat, melainkan sebagai emblem warga Lampung secara keseluruhan. Pendesainannya sempat berubah tujuh kali untuk mengakomodasi pemikiran Sjachroedin.

Siger adalah topi adat pengantin wanita Lampung. Menara Siger berupa bangunan berbentuk mahkota terdiri dari sembilan rangkaian yang melambangkan sembilan macam marga dan suku di Lampung. Menara Siger berwarna kuning dan merah, mewakili warna emas dari topi adat pengantin wanita. Bangunan ini juga berhiaskan ukiran corak kain tapis khas Lampung.

Bangunannya dilengkapi dengan data asta gatra, yaitu trigatra mencakup letak geografis, demografis dan kekayaan sumber daya alam (SDA). Berikutnya, panca gatra, yaitu berisi ideologi dan Hankam. Dengan demikian, para turis tidak perlu banyak bertanya.

Payung tiga warna, yaitu putih, kuning dan merah menandai puncak menara. Payung ini sebagai simbol tatanan sosial. Dalam bangunan utama Menara Siger Prasasti Kayu Ara sebagai simbol pohon kehidupan. Menara Siger tidak hanya berbentuk sebuah fisik bangunan, tetapi mencerminkan budaya masyarakat dan identitas masyarakat Lampung sesuai dengan filosofi berpikir dan bertindak sesuai visi dan misi mewujudkan Lampung yang unggul dan berdaya saing.

Pengembangkan kawasan itu, tidak hanya untuk kegiatan daerah dan nasional tetapi juga internasional. Kita telah memiliki ikon daerah. Pengelola kawasan juga telah dibentuk. Sehingga dengan adanya pengelola akan lebih efektif untuk melakukan kegiatan dan menjalankan program-program yang ada.

Momen yang bisa dijual dari kawasan ini, saat pagi menunggu matahari terbit. Diupayakan ketika itu setiap kendaraan yang tiba di Pelabuhan Bakauheni pagi hari, bisa singgah ke lokasi itu. Selain untuk shalat subuh, juga bisa sarapan pagi dengan makanan murah dan sehat. Objek yang akan ditawarkan, menyongsong matahari terbit dari Menara Siger. Sebab kalau siang hari, kalau tidak sedang mendung suhu udara termasuk panas di sana.

Pemilihan Bakauheni sebagai lokasi, karena saya anggap kawasan ini merupakan satu-satunya pintu keluar masuk Sumatera. Setiap orang yang akan datang atau pergi dari Sumatera pasti melintasi daerah ini. Dengan dibangun di kawasan tinggi, Menara Siger menjadi pemandangan otomatis siapapun. Bahkan dari tengah Selat Sunda nan luas bangunan ini akan kelihatan. Orang akan segera tahu bahwa dia akan segera memasuki wilayah Lampung.

Menara Siger memang menjadi sebuah fitur geografis yang digunakan penjelajah untuk menemukan jalan pulang menuju Lampung. Kawasan Lampung segera dapat dengan mudah dikenali dari ketinggian langit atau kemahaluasan laut melalui menara. Ditengah Selat Sunda nan luas, kita dapat menyaksikan Menara Siger. Dari atas laut yang begitu tenang, dengan sapuan ombak sangat lembut atau ombak tinggi sekalipun, menara tampak kemilau diterpa cahaya mentari.

Makin mendekati pelabuhan Bakauheni, semakin jelas keberadaannya. Begitu anggun dan gagah. Menara Siger itu menyadarkan kita bahwa tempat tersebut adalah Lampung. Sesuatu yang sangat sulit ditebak ketika kita menatap, khususnya dari arah Selat Sunda, gugusan kepulauan yang membentang dikaki Bukit Barisan dan dipinggir Provinsi Banten.

Secara luas, Menara Siger tak sekedar menjadi sebuah monumen atau menjadi semacam trade mark, seperti orang mengenang Paris dengan Menara Eiffel-nya, Amerika dengan Patung Liberty-nya dan sebagainya. Menara Siger menjadi semacam lebih dari sekedar identitas. Pada Menara Siger tak saja ditemukan sebuah eksistensi, juga hal-hal yang sangat mungkin melahirkan multiplier effect di berbagai bidang.

Secara teoritis digambarkan, keberadaan Menara Siger dikawasan strategis semacam Bakauheni yang diperkaya berbagai fasilitas, tidak saja menjadi sebuah penanda, juga momen pemicu. Ia menjadi magnet atas berbagai pergerakan, khususnya perekonomian dan pariwisata, seperti harga tanah yang meroket, hasil bumi mendapat tempat dan berbagai transaksi dilahirkan.

Menara Siger memberi banyak perspektif. Ia menjadi media mempertegas jati diri, bukan hanya bagi daerah Lampung dan penduduk asli Lampung, juga masyarakat pendatang. Ruang-ruang yang menampilkan berbagai khazanah budaya Lampung, dan sarana prasarana pariwisata yang dibangun dikawasan sekitar menara menegaskan hal itu.

Secara kultural, Lampung yang sangat heterogen memang sangat potensial melahirkan kultur beragam serta pengaruh luar yang sangat dominan. Sangat mungkin secara perlahan-lahan mengikis jati diri Lampung. Membangun Menara Siger, secara filosofi adalah upaya menemukan dan menjaga jati diri tersebut. Menara Siger tampil sebagai wilayah khas, yang hidup dalam karakter budaya lokal, sebagaimana layaknya berbagai daerah di tanah air. (Akhmad Sadad)
Share on Google Plus

About Unknown

0 komentar:

Post a Comment