Sejarah Pembentukan dan Pemekaran Lampung Tengah

                                         
      LAMPUNGUPDATE.COM - Semasa zaman penjajahan Jepang (1942-1945), Residentie Lampongshe Districten diubah namanya menjadi Lampungshu. Kemudian di bawah pemerintahannya, Lampungshu dibagi jadi tiga bun shu, masing-masing bernama Bun Shu Teluk Betung, Bun Shu Kotabumi dan Bun Shu Metro. Bun Shu Metro (eks kolonisasi Hindia Belanda) terbagi ke dalam sejumlah gun shu dengan membawahi marga-marga dan kampung-kampung yang ada diwilayahnya. Bun shu dikepalai oleh seorang bun cho dan gun shu dikepalai gun shu cho. Marga dikepalai marga cho dan kampung dikepalai seorang kepala kampung.
      Dengan berlakunya Peraturan Peralihan (PP) Pasal 2 UUS (Undang-undang Sementara) Tahun 1945, maka Bun Shu Metro berubah sebutan menjadi Kabupaten Lampung Tengah. Kepala pemerintahannya dikepalai seorang bupati. Bupati pertama Lampung Tengah di jabat oleh Burhanuddin dengan masa jabatan tahun 1945 sampai dengan 1948. Itulah sebabnya, bila ditinjau dari perkembangan sistem pemerintahan, pembagian wilayah Lampung atas kabupaten-kabupaten dianggap terjadi pada zaman pemerintahan Jepang atau tidak lama setelah bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaan.
Dengan diundangkannya UU Nomor 1 Tahun 1945 tentang Komite Nasional Daerah (KND) dan begitu kekuasaan sipil bisa direbut dari tangan Jepang, maka KND yang sudah terbentuk beralih dari suatu badan yang merupakan alat republik, mengerjakan hal-hal yang biasanya dikerjakan oleh pangreh praja dan polisi, menjadi badan yang menjelmakan kedaulatan rakyat. Dengan ini, dimulailah pelaksanaan politik desentralisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 UUD 1945.
Pada tanggal 12 Oktober 1945 atau bulan ketiga setelah bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, gubernur Sumatera menyerahkan soal pembentukan daerah-daerah otonom keresidenan. Kemudian terbentuklah pemerintahan daerah-daerah otonom yang mendapatkan penguatan hukum dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 8 Tahun 1947. 
Peraturan ini, dalam pelaksanaannya dimaksudkan untuk menetapkan sementara daerah berotonomi; keresidenan, kota-kota yang sudah di bentuk sebagai kota-kota berotonomi serta kabupaten-kabupaten. Dengan demikian, waktu itu di wilayah Sumatera Selatan juga telah pula dikenal daerah-daerah otonom, sebagaimana dimaksud Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945.
Tahun 1948, dikeluarkan Undang-undang (UU) Nomor 22 Tahun 1948. Dengan berlakunya undang-undang ini, berarti diperlukan peninjauan ulang tentang pembentukan daerah-daerah otonom yang sebelumnya telah terbentuk. Demikian pula di Sumatera Selatan, sudah beberapa kali diusahakan peninjauan. Tapi karena terjadi pergolakan politik di dalam negeri pada saat itu, hal ini tidak pernah dapat dilakukan. 
Oleh karenanya, meski sudah dikeluarkan undang-undang tersebut, namun sampai lama Sumatera Selatan masih belum ada kabupaten-kabupaten otonom yang sebelumnya telah di bentuk dengan Undang-undang berdasarkan UU Nomor 22 Tahun 1948. Walaupun kenyataannya kabupaten-kabupaten itu sudah ada, sebagaimana ditetapkan Residen Lampung tanggal 15 Juni 1946 Nomor 304.
Meskipun pemerintah telah sejak lama merasakan akan perlunya untuk membentuk daerah-daerah otonom kabupaten di Sumatera Selatan sebagaimana Undang-undang Nomor 22 Tahun 1948, tetapi keinginan pemerintah belum dapat dilakukan. Hal ini disebabkan untuk menentukan secara bijaksana tentang banyaknya kabupaten-kabupaten yang akan di bentuk, pihak pemerintah masih perlu meninjau dan mengetahui terlebih dahulu tentang keadaan politik serta keinginan dari masyarakat di daerah-daerah bersangkutan berkaitan dengan pelaksanaan pembentukan. Sesuai dengan keinginan rakyat, jalan terbaik yang di pandang sangat bijaksana yakni membentuk secara resmi semua kabupaten-kabupaten yang ada menjadi daerah kabupaten otonom. 
Berselang tahun kemudian, kebijakan mengenai wacana pembentukan kabupaten-kabupaten mendapat tanggapan positif dari pemerintah. Kabupaten Lampung Tengah, yang sudah ada pejabat bupati sejak tahun 1945 ini, akhirnya secara yuridis di bentuk berdasarkan Undang-undang Darurat (UU Darurat) Nomor 4 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Kabupaten-kabupaten dalam Lingkungan Daerah Provinsi Sumatera Selatan (LN Tahun 1956 Nomor 55, TLN Nomor 1091). 
Undang-undang Darurat tersebut ditetapkan pada tanggal 14 November 1956 oleh Presiden Republik Indonesia (RI) pertama, Ir. Soekarno (Bung Karno). Selanjutnya undang-undang ini diundangkan oleh Menteri Kehakiman, Moeljatno pada tanggal 24 November 1956. Sementara menjabat Menteri Dalam Negeri (Mendagri) adalah Soenarjo.
Dalam Lembaran Negara Republik Indonesia No. 55 Tahun 1956 disebutkan, dengan berlakunya Undang-undang Nomor 14 Tahun 1956 (Lembaran Negara Tahun 1956 Nomor 30) tentang Pembentukan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Dewan Pemerintah Daerah Peralihan di kabupaten-kabupaten otonom yang ada di dalam Provinsi Sumatera Selatan, sekarang ini telah diadakan persiapan-persiapan juga untuk membentuk Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Dewan Pemerintah Daerah Peralihan dimaksud untuk menggantikan dewan-dewan peralihan rakyat daerah lama yang masih ada atau untuk menjalankan pemerintahan daerah kabupaten-kabupaten di mana masih saja belum ada dewan-dewannya daerah, walaupun hak-hak kewenangan pemerintah-pemerintah daerah kabupaten-kabupaten itu yang termasuk dalam lapangan urusan rumah tangganya ternyata belum tegas diatur dalam peraturan-peraturan pembentukannya.
Berhubung dengan perkembangan ketatanegaraan dan untuk melancarkan jalan pemerintahan kabupaten-kabupaten otonom dimaksud, perlu segera kepada kabupaten-kabupaten tersebut diberikan dasar-dasar hukum yang tegas dan yang semestinya, dengan jalan membentuk kabupaten-kabupaten otonom itu dengan undang-undang sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1948.
Berhubung dengan keadaan yang mendesak, pengaturan pembentukan kabupaten-kabupaten tersebut perlu dilakukan dengan Undang-undang Darurat. Hal ini mengingat (a) pasal-pasal 96, 131 dan 142 Undang-undang Dasar Sementara; (b) Undang-undang Nomor 22 Tahun 1948, serta; mendengar Dewan Menteri dalam rapatnya yang ke 33 pada tanggal 4 Oktober 1956.
Undang-undang Darurat tentang Pembentukan Daerah Otonom Kabupaten Dalam Lingkungan Daerah Provinsi Sumatera Selatan, Bab I Peraturan Umum, Pasal 1, 2 dan 3 menyebutkan Lampung Tengah, dengan nama Kabupaten Lampung Tengah, dengan batas-batas sebagai dimaksud dalam Ketetapan Residen Lampung Negara Republik Indonesia tertanggal 15 Juni 1946 No. 304; Pemerintah Daerah Kabupaten Lampung Tengah berkedudukan di Metro, dan; Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Lampung Tengah terdiri dari 20 orang.
Ketentuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), bahwa apabila pada waktu diadakan pemilihan anggota-anggota DPRD Kabupaten bersangkutan yang akan menggantikan dewan lama, jumlah anggota-anggota seperti yang ditentukan tidak seimbang lagi dengan banyaknya cacah jiwa dalam kabupaten, maka jumlah anggota DPRD Kabupaten untuk pemilihan tersebut ditetapkan oleh DPRD Provinsi Sumatera Selatan dengan pengesahan Menteri Dalam Negeri.
Sementara, jumlah anggota Dewan Pemerintah Daerah dari kabupaten-kabupaten termaksud dalam Pasal 1, adalah sekurang-kurangnya 3 dan sebanyak-banyaknya 5 orang dengan ketentuan dalam jumlah tersebut tidak termasuk anggota-ketua kepala daerah.
Tentang urusan rumah tangga dan kewajiban daerah kabupaten, pemerintah daerah kabupaten menyelenggarakan segala sesuatu yang di pandang perlu untuk melancarkan jalannya pemerintahan daerahnya, antara lain menyusun dan menyelenggarakan sekretariat daerah kabupaten serta bagian-bagiannya, seperti pada dinas-dinas dan urusan-urusannya; menyelenggarakan segala sesuatu yang berhubungan dengan urusan kepegawaian, perbendaharaan, pemeliharaan harta dan milik serta lain-lain hal yang dipandang perlu. 
Kabupaten-kabupaten otonom mengatur dan mengurus urusan-urusan pekerjaan umum, kesehatan, kehewanan, pertanian, perikanan darat, sosial dan perindustrian kecil, yang oleh Provinsi Sumatera Selatan diserahkan kepadanya sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam peraturan-peraturan pemerintah tentang pelaksanaan penyerahan sebagian urusan yang bersangkutan dari pemerintah pusat kepada daerah otonom Provinsi Sumatera Selatan.
Bilamana timbul kesulitan dalam pelaksanaan ketentuan, pemerintah pusat mengambil tindakan-tindakan seperlunya. Kecuali urusan-urusan termaksud, kepada kabupaten diserahkan pula dengan peraturan pemerintah urusan-urusan, seperti urusan agraria, perburuhan, penerangan, pendidikan, pengajaran dan kebudayaan. Bagian-bagian lain dari urusan-urusan itu masih diatur dan diurus pemerintah pusat. 
Peraturan-peraturan daerah kabupaten, yang mengandung penetapan dan pemungutan pajak dan retribusi daerah tidak dapat berlaku sebelum disahkan oleh Dewan Pemerintah Daerah Provinsi Sumatera Selatan, terkecuali apabila Undang-undang Nomor 22 Tahun 1948 menunjuk penguasa lain untuk mengesahkannya.
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 1956 yang memutuskan dan menetapkan Undang-undang Darurat tentang Pembentukan Daerah Otonom Kabupaten Dalam Lingkungan Daerah Provinsi Sumatera Selatan, terdiri dari 5 bab dan 19 pasal. Bab I mengenai Peraturan Umum, Bab II Tentang Urusan Rumah Tangga dan Kewajiban Daerah Kabupaten, Bab III Tentang Hal-hal yang Bersangkutan Dengan Penyerahan Kekuasaan Campur Tangan dan Pekerjaan-pekerjaan yang Diserahkan Kepada Daerah Kabupaten, Bab IV Ketentuan Peralihan, dan; Bab V Ketentuan Penutup. 
Dengan dikeluarkannya UU Darurat Nomor 4 Tahun 1956 yang ditetapkan tanggal 14 November 1956, berarti secara yuridis wilayah Lampung Tengah di bentuk menjadi daerah otonom kabupaten yang diundangkan tanggal 24 November 1956 oleh Menkeh Moeljatno. Lampung Tengah beribukota kabupaten di Metro, semasa ini di pimpin Bupati Raden Djahri Djajadiwirja (EYD= Jahri Jayadiwirya) dengan masa jabatan tahun 1952-1958. Semasa beliau pula, pada tahun 1953 bentuk pemerintahan marga dihapuskan dan diganti dengan sistem berbentuk pemerintahan negeri. 
Penghapusan sistem kemargaan ini, karena bentuk pemerintahan teritorial yang bersendikan atas dasar asal-usul, suku dan kedaerahan di anggap sudah tidak relevan lagi untuk diterapkan. Namun meskipun demikian, pemerintahan dimaksud di ganti dengan sistem kenegerian. Di kabupaten ini semasanya terbentuk 9 (sembilan) negeri, terbagi ke dalam sejumlah pusat pemerintahan, di mana masing-masing dikepalai oleh kepala negeri dan dibentuknya dewan negeri.
Di dalam Provinsi Sumatera Selatan kala itu memang telah terbentuk kabupaten-kabupaten otonom berjumlah 14 (empat belas) kabupaten. Lampung Tengah salah satu diantaranya. Konsiderans UU Darurat itu menyebutkan, sehubungan dengan perkembangan ketatanegaraan dan untuk melancarkan jalannya roda pemerintahan kabupaten-kabupaten berotonomi dimaksud, perlu segera kepada kabupaten-kabupaten tersebut diberikan dasar-dasar hukum yang lebih jelas, dengan jalan membentuk kabupaten-kabupaten otonom itu dengan undang-undang sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1948. 
Konsiderans ini lebih lanjut menyebutkan pula bahwa sehubungan dengan situasi dan kondisi yang sudah mendesak, pengaturan mengenai pembentukan kabupaten-kabupaten itu perlu dilakukan dengan Undang-undang Darurat. UU Darurat Nomor 4 Tahun 1956 telah dibuat dengan tujuan selekas-lekasnya memberikan dasar hukum yang formil, berdasarkan UU Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pemerintahan Daerah pada daerah yang memperoleh hak mengurus rumah tangganya sendiri menurut peraturan-peraturan pembentukan tidak resmi. Daerah-daerah dimaksud dengan UU Darurat telah dibentuk menjadi 14 kabupaten.
Adapun kabupaten-kabupaten itu, adalah Kabupaten Musi Banyuasin (Muba), Kabupaten Ogan dan Komering Ilir (OKI), Kabupaten Ogan dan Komering Ulu (OKU), Kabupaten Muara Enim, Kabupaten Lahat, Kabupaten Musi Rawas (Mura), Kabupaten Lampung Utara (Lampura), Kabupaten Lampung Tengah (Lamteng), Kabupaten Lampung Selatan (Lamsel), Kabupaten Bengkulu Utara, Kabupaten Rejang Lebong, Kabupaten Bengkulu Selatan, Kabupaten Bangka dan Kabupaten Belitung. 
Dari kabupaten-kabupaten di Provinsi Sumatera Selatan, diantaranya 8 (delapan) kabupaten berada di Palembang (Musi Banyuasin (Muba), Ogan dan Komering Ilir (OKI), Ogan dan Komering Ulu (OKU), Lahat, Muara Enim, Musi Rawas (Mura), Bangka dan Belitung), 3 (tiga) kabupaten di Lampung (Lampung Utara, Lampung Tengah, Lampung Selatan) dan 3 (tiga) kabupaten di Bengkulu (Bengkulu Utara, Rejang Lebong, Bengkulu Selatan). Keempat belas kabupaten ini merupakan wilayah keresidenan Palembang, keresidenan Lampung dan keresidenan Bengkulu, dengan administrasi pemerintahan berpusat di Kota Palembang sebagai ibukota Provinsi Sumatera Selatan. 
Untuk menyelenggarakan efektivitas pemerintahan yang lebih efisien di daerah-daerah otonom, sehubungan keadaan cukup mendesak setidaknya telah pula memaksa pemerintah untuk mempergunakan hak yang sebelumnya sudah diberikan di dalam Pasal 96 UUDS (Undang-undang Dasar Sementara), yaitu dengan melakukan peresmian pembentukan itu dengan Undang-undang Darurat. Sebab bentukan tersebut tidak dapat menunggu lebih lama lagi sampai terselenggaranya UU biasa yang tidak bersifat darurat. Menurut Pasal 97 Ayat (1) UUDS, Undang-undang Darurat itu harus ditetapkan sebagai undang-undang dengan persetujuan parlemen. 
Sejalan dengan adanya pelaksanaan dari ketentuan ini, selanjutnya dikeluarkan 3 (tiga) undang-undang yang mengatur. Perundang-undangan dimaksud, terdiri dari UU Nomor 4 Tahun 1959 tentang Penetapan UU Darurat Nomor 4 Tahun 1956, UU Darurat Nomor 5 Tahun 1956 dan UU Darurat Nomor 6 Tahun 1956 tentang Pembentukan Dati II termasuk Kotapraja dalam lingkungan Daerah Tingkat I (Dati I) Sumatera Selatan sebagai Undang-undang (LN Tahun 1959 Nomor 73). 
Keluarnya Undang-undang No. 4 Tahun 1959 merupakan perumusan dari ketiga Undang-undang yang dikeluarkan dalam tahun 1956. Undang-undang itu disahkan tanggal 26 Juni 1959 oleh Pejabat Presiden Sartono dan diundangkan oleh Menteri Kehakiman G. A. Maengkom pada tanggal 4 Juli 1959. Pejabat Menteri Dalam Negeri (Mendagri) saat itu dijabat oleh Sanoesi Hardjadinata.
Bila perumusan Undang-undang Darurat Nomor 4 Tahun 1956 di bawah payung Undang-undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pemerintahan Daerah, maka kemudian Undang-undang Nomor 28 Tahun 1959 dikeluarkan berada di bawah payung Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah. Undang-undang ini semuanya mengatur tentang pemerintahan di daerah. Saat itu, konstitusi yang berlaku yaitu Undang-undang Dasar Sementara (UUDS) Tahun 1950. 
Dalam status pemerintahan, antara tahun 1945 sampai dengan 1964, daerah Lampung di bawah pimpinan residen, termasuk wilayah Provinsi Sumatera Selatan yang berpusat di Kota Palembang. Administrasi pemerintahannya dibagi dalam 3 (tiga) kabupaten, masing-masing Kabupaten Lampung Utara (Lampura) yang berkedudukan di Kotabumi, Kabupaten Lampung Selatan (Lamsel) berkedudukan di Kalianda dan Kabupaten Lampung Tengah (Lamteng) berpusat di Metro, 1 (satu) kotamadya, beberapa kewedanaan, kecamatan-kecamatan, marga-marga dan kampung-kampung. 
Di daerah Kabupaten Lampung Tengah sendiri, pada saat itu bentuk administrasi pemerintahannya terbagi ke dalam 3 (tiga) kewedanaan, masing-masing Wedana Metro dengan pusat kewedanaan berkedudukan di Metro, Wedana Sukadana dengan pusat kewedanaan berkedudukan di Sukadana dan Wedana Gunung Sugih dengan pusat kewedanaannya berkedudukan di Gunung Sugih. 
Ketiga kewedanaan tersebut, membawahi daerahnya masing-masing yang terdiri dari sejumlah kecamatan-kecamatan, marga-marga dan kampung-kampung atau desa-desa. Semasa ini, pertumbuhan jumlah penduduk telah meningkat dari sebelumnya, terutama di wilayah Wedana Sukadana dan Metro. Sebab dalam perkembangannya, di tempat ini sudah banyak warga datangan yang semasa kolonial Belanda, wilayah itu dijadikan daerah kolonisasi dari Pulau Jawa (Jawa Dwipa). 
Dalam tahun 1963, dikeluarkanlah Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 22 Tahun 1963 yang menyebutkan keresidenan dan kewedanaan dihapuskan. Dengan adanya penghapusan, dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah, administrasi pemerintahan diwilayahnya hanya tinggal kecamatan dan kampung-kampung. Sementara untuk pemerintahan teritorial, di antara dekade itu sejak tahun 1953 ditetapkan pemerintahan negeri untuk menggantikan sistem kemargaan yang sudah lama menjalankan pemerintahannya.
Berdasarkan Perpu Nomor 3 Tahun 1964, yang kemudian peraturan itu menjadi Undang-undang Nomor 14 Tahun 1964, daerah keresidenan Lampung meningkat menjadi daerah otonom provinsi dan terbagi dalam 3 daerah kabupaten tingkat II, 1 kotamadya tingkat II, 55 kecamatan, 36 daerah negeri, 1.112 kampung dengan jumlah penduduk sebanyak 2.655.953 jiwa (Sensus 1970).
Perkembangan Kota Metro sebagai ibukota Kabupaten Lampung Tengah dari waktu ke waktu semakin pesat. Selain pertumbuhan penduduk yang setiap tahun meningkat, sarana dan prasarana di daerah ini juga terus nampak. Begitulah Metro, sebuah daerah di Lampung yang tumbuh dan berkembang dari adanya kolonisasi asal Jawa semasa Hindia Belanda. Dari masa ke masa wajah kota terus bersolek diri, menggeliat menghadirkan pembangunan. Pembauran masyarakatnya telah pula membuat ramai penduduk kota yang sebelumnya bernama Trimurjo.
Kota Metro yang terus berkembang tidak hanya dikenal di dalam provinsi saja tapi juga namanya di kenal sampai ke luar provinsi. Sejak dulu, daerah ini terkenal dengan hasil-hasil pertaniannya. Komoditas unggulan dari kabupaten bermotto Jurai Siwo tersebut diantaranya padi, singkong dan jagung. Tidak berlebihan bila Peraturan Daerah Nomor 02 Tahun 1975 tentang Lambang Kabupaten Lampung Tengah, antara lain berisi setangkai padi, sebatang ubi kayu (singkong) dan setongkol jagung terkupas.
Seiring dengan upaya pemekaran wilayah daerah guna lebih mengefektifkan span of control terhadap pelaksanaan jalannya pemerintahan, pada tahun 1986 telah pula dilakukan perintisan pembentukan 2 (dua) wilayah daerah pembantu bupati, masing-masing wilayah Sukadana dan Gunung Sugih. Atas dasar pertimbangan yang ada dengan melihat situasi maupun kondisi, pada tahun 1987 di bentuk juga kota administratif Metro dengan pusat pemerintahan di Metro. Pembentukan ini berdasarkan peresmian Kota Administratif Metro tanggal 9 September 1987 oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Letjen TNI Soeparjo Rustam. 
Pembentukan kedua wilayah pembantu bupati dan kota administratif dapat dikatakan langkah awal perotonomian serta melaksanakan rentang kendali sehubungan dengan masih luasnya wilayah kabupaten. Pemekaran wilayah yang ada di Lampung Tengah, sejalan dengan kebijaksanaan dari pemerintah Provinsi Lampung untuk melaksanakan pemekaran wilayah/daerah ini. Upaya itu diantaranya agar dapat lebih meningkatkan status wilayah daerah pembantu bupati menjadi kabupaten maupun kota definitif. 
Berdasarkan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1999 tertanggal 20 April 1999, maka kabupaten yang memiliki wilayah daerah masih luas itu secara resmi dimekarkan menjadi 3 (tiga) kabupaten/kota, masing-masing Kabupaten Lampung Timur (Lamtim) dengan ibukota kabupaten berkedudukan di Sukadana (eks Wilayah Pembantu Bupati Sukadana), Administratif Kota Metro berpusat di Kotamadya Metro dan Kabupaten Lampung Tengah dengan ibukota kabupaten di Kota Gunung Sugih (eks Wilayah Pembantu Bupati Gunung Sugih). 
Setelah adanya realisasi pemekaran wilayah menjadi 3 (tiga) kabupaten/kota, pusat ibukota kabupaten dan pemerintahan yang semula berkedudukan di Kota Metro, karena terjadinya pemekaran wilayah daerah, ibukota kabupatennya dipindahkan ke Gunung Sugih pada tanggal 1 Juli 1999. Sedangkan Metro tetap menjadi kotamadya dengan kepala pemerintahannya dijabat oleh seorang walikota.
Puluhan tahun lamanya ibukota kabupaten berada di Metro (1945-1999) akhirnya daerah tingkat II di Provinsi Lampung ini resmi dimekarkan. Berdasarkan UU Nomor 12 Tahun 1999, Lampung Tengah di mekar dengan membentuk 2 daerah otonomi baru, yakni Kabupaten Lampung Timur dan Kotamadya Metro. Dalam undang-undang itu disebutkan sisa Kabupaten Lampung Tengah setelah dikurangi dengan Kabupaten Lampung Timur dan Kota Metro, tetap merupakan suatu daerah otonom, yaitu Kabupaten Lampung Tengah dengan pusat pemerintahan di Gunung Sugih.
Kota Gunung Sugih sendiri tadinya merupakan salah satu ampung tua di kabupaten ini. Semasa kolonial Hindia Belanda, Gunung Sugih adalah satu dari 3 onder district di Onder Afdeling Sukadana. Selain sebagai onder district, pada masa kemudiannya tempat ini juga pernah menjadi kewedanaan, pusat pemerintahan Negeri Seputih Timur dan eks wilayah pembantu bupati. 
Sejarah membuktikan bahwa dulu tempat tersebut pernah mengalami masa kejayaannya sebagai pusat pemerintahan. Hal itu, setidaknya memicu pengulangan historis akan kebesaran kota yang tadinya kampung tua bersejarah. Bahkan, terakhir tahun 1986 sebelum pemekaran kabupaten sudah dilakukan perintisan pembentukan wilayah daerah pembantu bupati di Gunung Sugih. Begitu adanya pemekaran wilayah, pada tanggal 1 Juli 1999 ibukota kabupaten yang tadinya berkedudukan di Kota Metro dipindahkan ke kota ini. 
Adapun latar belakang kebijaksanaan pemekaran wilayah atau daerah, diantaranya disebabkan masih luasnya wilayah serta besarnya jumlah penduduk dan penyebaran masyarakat yang tidak merata. Dengan adanya pemekaran daerah setidaknya mempersempit wilayah dan ruang gerak pemerintahan di dalam melaksanakan ketatapemerintahan. Sedangkan tujuan dari dilaksanakannya pemekaran wilayah/daerah kabupaten, bila melihat letak geografis serta kenyataan yang ada, pemisahan dimaksudkan untuk meningkatkan rentang kendali (span of control) terhadap penyelenggaraan pemerintahan sehingga dapat menjangkau administrasi pemerintahan yang terkecil/desa. 
Selain itu, pemekaran wilayah bertujuan untuk lebih meningkatkan efektivitas penggalian dan pendayagunaan sumber daya dan potensi daerah guna kesejahteraan masyarakat, serta; meningkatkan penyebaran dan pemerataan berbagai hasil-hasil pembangunan sehingga pada gilirannya dapat merangsang peningkatan partisipasi masyarakat dan produktivitas guna mencapai tingkat kesejahteraan yang merata. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 yang ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah adalah salah satu jawaban akan kesungguhan pemerintah menyelenggarakan pemerintahan yang desentralistis. 
Gelombang arus perubahan atau sering disebut-sebut dengan reformasi yang diawali pada tahun 1998, setidaknya menuntut terjadinya eskalasi perubahan yang bukan hanya dilatarbelakangi krisis di sektor perekonomian saja, tapi juga mendorong perubahan terhadap politik pemerintahan, yaitu berubahnya pola pengelolaan ketatapemerintahan. Perubahan ditandai dengan adanya pergeseran pradigma dalam pengelolaan kekuasaan dari pendekatan yang sentaristis ke arah desentralisasi; praktek penyelenggaraan kepemerintahan berbasis kedaerahan.
Kebebasan suatu daerah menentukan nasip serta masa depannya sendiri yang tertuang ke dalam UU No.22/1999 setidaknya sudah dijalankan Kabupaten Lampung Tengah. Sumber-sumber pendapatan daerah, seperti pendapatan asli daerah (PAD), dana perimbangan, pinjaman daerah dan lain-lain pendapatan daerah yang sah dapat dijadikan tolak ukur dalam melaksanakan pembangunan.
Kepindahan ibukota kabupaten ke Kota Gunung Sugih dengan berbagai keterbatasan yang ada tantangan serius bagi aparatur pemerintahan daerah untuk memajukan daerah ini. Apalagi pada waktu itu bangsa tengah dilanda berbagai macam krisis; mulai dari krisis ekonomi, kepercayaan, hukum dan lain sebagainya. Keadaan bangsa yang cukup memprihatinkan di era reformasi merupakan langkah awal kabupaten ini untuk mencari jati diri, terutama dalam hal memajukan pembangunan didaerahnya yang baru dimekarkan  
Dengan disahkannya UU Nomor 12 Tahun 1999, ibukota Kabupaten Lampung Tengah dari Metro dipindahkan ke Gunung Sugih, terdiri dari 26 kecamatan definif/pembantu, 275 kampung definitif, 3 kelurahan dan 4 kampung persiapan. Sedangkan lembaga pemerintahannya waktu itu terdiri dari 16 dinas, 7 lembaga teknis dan 1 sekretaris daerah. (Akhmad Sadad) 

Sumber: http://www.lampungupdate.com/2017/01/sejarah-pembentukan-dan-pemekaran_92.html
Share on Google Plus

About Unknown

0 komentar:

Post a Comment