Megou Pak Tulang Bawang
PENDUDUK asli Lampung di Kabupaten Tulang Bawang di angkat dari adat kemargaan ”Megou Pak Tulang Bawang” (Marga Empat Tulang Bawang), yaitu kebuaian atau jurai dari 4 (empat) keturunan. Keempat kebuaian itu, masing-masing Buai Bulan, Buai Tegamoan, Buai Umpu dan Buai Aji. Kebuaian penduduk pribumi ini, di lingkungan setempat masing-masing mendiami sejumlah tempat di wilayah Tulang Bawang.
Keberadaan marga maupun buai-buai di Tulang Bawang, diantaranya dengan ditandai adanya perkampungan masyarakat pribumi Lampung, bahasa daerah sehari-hari yang mereka pergunakan serta budaya daerah penduduk suku asli yang turun temurun bermukim di sini.
Dalam adat istiadat warga masyarakat setempat, keempat kebuaian penduduk asli Tulang Bawang beradat Pepadun. Adat Pepadun perkiraan mulai berkembang di daerah Tulang Bawang abad ke 18 masehi, bersamaan dengan Way Kanan dan Way Seputih (Pubian). Diperkirakan, pendirian adat Pepadun mulai dilaksanakan pada zaman seba Banten.
Saat Maulana Hasanuddin melanjutkan pemerintahan di Banten yang di bentuk Sunan Gunung Jati (1530), masyarakat dari Abung belum ada melakukan seba ke Banten. Dalam kehidupan sehari-hari mereka masih tetap mempertahankan adat istiadat yang masih serba Hindu-Animisme. Hal tersebut sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Broesma, dalam bahasa Belanda: “Toen Oenyai was overleden onstonden twisten tusschen Bagindo’s klein kinderen, waarop een in monging van den Sultan van Bantam is gevold”.
Menurut apa yang di tulis Broesma, setelah Nunyai wafat terjadi perselisihan pendapat antara anak cucu Minak Paduka Begeduh. Ternyata selisih paham dari keturunannya berlangsung pelik. Sehingga atas kejadian itu, salah satu dari mereka setelah perselisihan memutuskan untuk bergabung mengikuti kekuasaan Banten.
Kenyataan ini, dapat pula dihubungkan dengan peristiwa peperangan antara pihak Banten dan Kesultanan Palembang Darussalam, salah satu kerajaan Islam di Pulau Sumatera yang terjadi pada tahun 1596. Di mana dalam pertempuran tersebut, Maulana Muhammad dari Banten gugur dalam peperangan dan menerima kekalahan.
Mereka yang berangkat seba ke Banten dari masyarakat Abung adalah Minak Semelesem, cucu dari Nunyai (Minak Triou Disou). Ketika melakukan seba, dia memang sudah lanjut usia. Oleh karenanya, pendirian Pepadun baru dapat dilaksanakan oleh salah satu putranya bernama Minak Paduka, bertempat di ilir Way Kunang, yaitu di Bujang Penagan.
Nunyai (Minak Trio Disou) adalah salah seorang anak dari Minak Paduka Begeduh, putra Minak Rio Begeduh, keturunan Indra Gajah (Inder Gajah) yang kemudian menurunkan orang-orang Abung. Sedangkan saudaranya Pa’lang menurunkan orang Pubian. Nunyai mempunyai 3 saudara, masing-masing Unyi (Minak Ratu di Bumi), Nuban dan Subing (Betan Subing).
Menurut perkiraan, adat Pepadun mulai terbentuk sekitar abad ke 17 masehi. Setidak-tidaknya, sebelum berlangsung kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1672). Dengan telah dibentuknya adat Pepadun, berarti mereka sudah resmi untuk melaksanakan penerimaan syiar ajaran agama Islam di dalam masyarakat serta meninggalkan adat istiadat lama yang serba bersipat Hindu-Animisme.
Berselang masa kemudian, pada permulaan abad ke 19 masehi, berdasarkan hasil kesepakatan para penyimbang marga, adat Pepadun disempurnakan dengan masyarakat kebuaian inti dan kebuaian-kebuaian tambahan (gabungan). Dari bentuk-bentuk penyempurnaan itu dikenal melahirkan apa yang dinamakan dengan sebutan Megou Pak Tulang Bawang (Marga Empat Tulang Bawang), Abung Siwou Megou; Abung Siwo Mego (Abung Sembilan Marga) dan Pubian Telu Suku (Pubian Tiga Suku).
Dalam kemargaan masyarakat setempat, Megou Pak Tulang Bawang berada di daerah Tulang Bawang. Sedangkan Abung Siwou Megou dan Pubian Telu Suku, berada di daerah Lampung Tengah sekarang. Duhulunya, semasa kolonial Hindia Belanda kedua tempat ini berada di wilayah Residen Lampung (Residentie Lampongshe Districten).
Masyarakat adat Lampung Tulang Bawang tersebar di kecamatan-kecamatan di berbagai wilayah kabupaten ini, seperti Buai Bulan (tersebar di Kecamatan Menggala dan Tulang Bawang Udik), Buai Suwai Umpu (tersebar di Kecamatan Tulang Bawang Tengah dan Menggala) serta Buai Aji (berada di Kecamatan Gedung Aji).
Karekteristik penduduk pribumi Lampung Tulang Bawang, diantaranya hidup berkelompok hingga membentuk kampung dengan pola menetap, sebagian berada di pinggir-pinggir dan bantaran sungai dengan pola menetap dan ada pula yang tidak menetap. Tidak menetap dimaksud, antara lain tempat tinggal mereka hanya ditempati pada saat-saat tertentu, seperti pada musim bercocok tanam maupun mencari ikan.
Sementara di Lampung, yang di sebut dengan masyarakat menganut adat tidak Pepadun, yaitu penduduk pribumi suku Lampung yang melaksanakan adat musyawarahnya tanpa menggunakan kursi Pepadun. Karena mereka sebagian besar banyak berdiam di tepi pantai, maka masyarakatnya di sebut adat Pesisir (Peminggir).
Selain pembagian berdasarkan masyarakat beradat, suku Lampung dapat pula dibagi berdasarkan logat bahasa yang dipergunakan, yaitu bahasa Lampung Belalau yang berlogat “A” dan bahasa Lampung berlogat “O”. Pembagian atas logat ini dikelompokkan menjadi 2 (dua) logat bahasa, masing-masing logat “Api” dan logat “Nyou”.
Masyarakat berbahasa Lampung Belalau, yakni logat “A”, terdiri dari logat bahasa Jelma Daya atau Sungkai, logat bahasa Pemanggilan Peminggir, logat bahasa Melinting Peminggir dan logat bahasa Pubian. Sedangkan masyarakat berbahasa Lampung berlogat “O”, terdiri dari logat bahasa Abung dan logat bahasa Menggala.
Etnik suku Lampung, selain bahasa dan budayanya yang memiliki kekhasan, juga mempunyai aksara tersendiri yang di kenal dengan nama Had Lappung. Aksara ini, berupa bahasa Lampung yang dituangkan ke dalam bentuk tulisan. Bentuk tulisan di daerah Lampung pada dasarnya berasal dari aksara Pallawa (India Selatan) yang diperkirakan masuk ke Pulau Sumatera semasa kejayaan Kerajaan Sriwijaya, salah satu kerajaan tertua di tanah Andalas.
Macam-macam tulisan Had Lappung, fonetik berjenis suku kata yang merupakan huruf hidup seperti dalam aksara Arab, dengan menggunakan tanda-tanda fathah di baris atas dan tanda-tanda kasrah di baris bawah, tapi tidak memakai tanda dammah di baris depan, melainkan menggunakan tanda di belakang. Masing-masing tanda mempunyai nama tersendiri. Aksara Lampung, hampir sama bentuknya dengan aksara Rencong (Aceh). Artinya, Had Lappung di pengaruhi dua unsur, yakni aksara Pallawa dan huruf Arab.
Adapun bentuk-bentuk Aksara Lampung adalah sebagai berikut: Tulisan; Ka, Ga, Nga, Pa, Ba, Ma, Ta, Da, Na, Tja, Dja, Ja, A, La, Ra, Sa, Wa, Ha, Gra. Fathah; Ulan (i), Ulan (e), Bitjek (e), Tekelubang (ng), Redjendjung ® Datas (n). Kasrah; Bitan (u), Bitan (o), Tekelungan (w). Ditulis Belakang; Tekelingai (ai), Keleniah (h), Nengen (tanda huruf mati), Tanda Koma, Tanda Seru, Tanda Tanja (tanya) dan Tanda Titik. (berdasarkan ejaan-ejaan yang belum disempurnakan).
Bahasa keseharian masyarakat asli Tulang Bawang, di lingkungan setempat lebih banyak dituturkan dalam bahasa percakapan. Berbahasa kelampungan bagi kalangan penduduk pribumi digunakan untuk berkomunikasi antara seorang individu dengan individu, individu dengan kelompok maupun sebaliknya. Dialek bahasa itu banyak dipakai di lingkungan keluarga, kerabat, tetangga ataupun dalam dan luar kampung yang se-berbahasa daerah.
Penduduk pribumi, sehari-harinya mempergunakan bahasa Lampung Menggala dengan dialek lisan. Dalam pergaulan hidup dilingkungannya, bahasa daerah tersebut merupakan suatu alat komunikasi, sebagai sistem untuk menyampaikan suatu hal. Bila dilihat dari cara penuturannya, dialek bahasa yang digunakan mempunyai sejumlah logat. Dialek dan logat inilah yang menjadi etos bahasa penduduk asli di keseharian mereka.
Kalau meninjau dari sudut bahasa daerah yang dituturkan, masyarakat etnik Lampung pada umumnya dapat dibedakan atas 2 (dua) kelompok, yakni (1) Masyarakat berdialek Api; yaitu penduduk yang mendiami daerah Way Kanan, Sungkai, Pesisir, Melinting, Pubian, serta (2) Masyarakat berdialek Nyou; yaitu dialek Abung dan Menggala. Sedangkan jika ditilik dari adatnya, masyarakat etnik Lampung dikelompokkan atas masyarakat Pepadun (Abung, Menggala, Sungkai, Way Kanan dan Pubian) serta Sebatin (Pesisir).
Dari pembagian ini, pribumi Lampung Tulang Bawang termasuk dalam masyarakat berdialek ”O” atau Nyou dari sudut bahasa dan masyarakat Pepadun dari sudut adat. Hal tersebut terlihat pula dari kebudayaan setempat yang memang tergolong ke dalam masyarakat beradat Pepadun. Dengan demikian, mayoritas dari masyarakatnya sebagian besar beradat Pepadun, dengan bahasa Lampung berdialek “O” atau Nyou atau di kenal pula dengan dialek Menggala.
Adat Pepadun merupakan adat istiadat pribumi Lampung Abung Siwo Mego, Pubian Telu Suku dan Megou Pak Tulang Bawang. Pepadun adalah tahta kedudukan penyimbang atau tempat seorang duduk dalam kerajaan adat. Pepadun digunakan pada saat pengambilan gelar kepenyimbangan (pimpinan adat).
Kegunaan Pepadun yakni sebagai simbol adat yang kuat dan resmi, berakarkan bukti-bukti dari masa ke masa secara turun temurun. Seorang penyimbang yang sudah bergelar Suttan di atas Pepadun sendiri atau warisan nenek moyang atau orang tuanya, maka ia akan bertanggung jawab sepenuhnya untuk mengurus kerajaan kekerabatan adatnya.
Secara terminologi, kata Pepadun berasal dari suku kata perpaduan, yang berarti dalam bahasa daerah Lampung artinya berunding. Kursi Pepadun dalam adat sebagian besar terbuat dari bahan kayu tebal. Pepadun melambangkan pula status/derajat seseorang dalam sosial kemasyarakatan. Pepadun juga merupakan atribut utama dari penyimbang masyarakat Lampung beradatkan Pepadun (Oleh: Akhmad Sadad/Disarikan Dari Berbagai Sumber).
0 komentar:
Post a Comment