Abung Siwo Mego dan Pubian Telu Suku
PENDUDUK asli Lampung di Lampung Tengah di angkat dari adat kemargaan “Abung Siwo Mego” dan “Pubian Telu Suku”, yaitu kebuaian atau jurai yang berasal dari 9 (sebilan) keturunan. Kesembilan jurai (bahasa daerah= jurai siwo) itu terdiri dari Anak Tuha, Nuban, Nunyai, Unyi, Subing, Kunang, Selagai, Nyerupa dan Beliuk. Sembilan kebuaian penduduk asli ini, di lingkungan setempat masing-masing mendiami sejumlah tempat di Kabupaten Lampung Tengah. Hal itu dengan ditandai adanya perkampungan masyarakat pribumi, bahasa daerah sehari-hari yang dipergunakan serta budaya daerah penduduk suku asli yang turun temurun bermukim di sini.
Dalam Kitab “Kuntara Raja Niti”, yakni kitab (book) adat istiadat orang Lampung yang hingga kini masih dapat ditemukan dan di baca, baik dalam bentuk aksara asli Had Lappung maupun yang telah di tulis dalam aksara latin, walaupun isinya sudah banyak di pengaruhi agama Islam yang masuk dari Banten, dikatakan sebagai berikut:
Siji turunan Batin tilu suku tuha lagi lewek djak Pagaruyung Menangkabau pina turun satu putrid kajangan, dikawinkan jama Kun Tunggal, ja ngada Ruh Tunggal ja ngakon tunggal ja ngadakan umpu sai tungau umpu sai tungau ngadakan umpu serunting umpu sai runting pendah disekala berak ja budiri ratu pumanggilan, Ratu pumanggilan (umpu si Runting nganak lima muari;
1. Sai tuha Indor Gadjah turun abung siwa miga,
2. Si Belunguh turunan peminggir,
3. Si Pa’lang nurunkan pubijan tilu suku,
4. Si Pandan ilang,
5. Si Sangkan wat di suka ham.
Dengan demikian, menurut apa yang diuraikan Kuntara Raja Niti, orang-orang Lampung (suku Pubian, Abung, Peminggir dan lain-lain) berasal dari Pagaruyung, keturunan Putri Kayangan dan Kua Tunggal. Lalu setelah kerabat mereka berdiam di sebuah daerah bernama Skala Berak, di masa cucunya Umpu Serunting, mereka mendirikan Keratuan Pemanggilan. Umpu Serunting selanjutnya menurunkan lima orang anak laki-laki. Mereka terdiri dari Indra Gajah (Inder Gajah), yang kemudian menurunkan orang Abung, Bulunguh menurunkan orang Peminggir, Pa’lang menurunkan orang Pubian, Pandan dikatakan menghilang dan Sangkan dikatakan berada di Suka ham (?). Suka ham, diyakini nama sebuah tempat bernama Sukadanaham yang sekarang berada di Kabupaten Tanggamus.
Sebagaimana dijelaskan dalam Kitab Kuntara Raja Niti, karena orang-orang Bajau (perompak laut) datang menyerang, akhirnya Keratuan Pemanggilan menjadi pecah. Sedangkan warganya beralih tempat meninggalkan Skala Berak menuju ke daerah dataran rendah Lampung sekarang. Keturunan Indra Gajah/Inder Gajah kemudian menetap di Ulok Tigou Ngawan di Canguk Gatcak di hulu Way Abung (Kecamatan Tanjung Raja, Lampung Utara). Di bawah pimpinan Minak Rio Begeduh, mereka mendirikan Keratuan di Puncak. Diperkirakan, di masa Minak Begeduh yakni sekitar tahun 1365 armada Majapahit yang bertolak dari Pulau Jawa sempat singgah di pantai timur, yaitu di daerah kekuasaan Keratuan Pugung yang berada di Kecamatan Labuhan Meringgai sekarang. Namun para awak yang merapat di sana tidak sampai masuk ke daerah pedalaman. Mereka hanya berada di pesisir pantai.
Semasa kekuasaan putra Minak Rio Begeduh bernama Minak Paduka Begeduh, daerah Abung di serang lagi oleh perompak laut. Penyerangan ini mengakibatkan tewasnya Minak Paduka Begeduh. Hal tersebut menyebabkan keempat anaknya mengadakan pertahanan. Keempat anak Minak Paduka Begeduh ini, masing-masing bernama Nunyai (Minak Trio Disou) yang membuat pertahanan di sepanjang Way Abung dan Way Rarem. Unyi (Minak Ratu di Bumi) membuat pertahanan di sepanjang Way Seputih. Nuban (wanita) dengan suaminya membuat pertahanan di sepanjang Way Batanghari dan Subing membuat pertahanan di sepanjang Way Terusan. Menurut cerita turun temurun yang di dengar, Subing berhasil menebus kehormatan ayahnya Minak Paduka Begeduh yang telah wafat dengan membunuh kepala perompak bernama Raja di Laut.
Syiar ajaran agama Islam diperkirakan mulai masuk ke daerah Lampung sekitar abad ke 15 masehi. Penyebarannya melalui tiga arah angin. Pertama, dari barat (Minangkabau), memasuki daratan tinggi Belalau. Kedua, dari daerah utara (Palembang), memasuki daerah Komering pada permulaan abad ke 15 masehi atau setidak-tidaknya di masa Adipati Arya Damar (1443) di Palembang. Ketiga, dari Banten oleh Fatahillah Sunan Gunung Jati, memasuki daerah Labuhan Meringgai sekarang, yaitu di Kerajaan Pugung sekitar tahun 1525 sebelum direbutnya Sunda Kelapa (1526). Dari perkawinan Fatahillah dengan Putri Sinar Alam anak Ratu Pugung, lahirlah Minak Kejala Ratu yang menjadi cikal bakal Keratuan Darah Putih yang menurunkan Raden Intan.
Setelah masyarakat adat Pugung memeluk ajaran agama Islam, selanjutnya berdiri Keratuan Darah Putih sebagai tempat penyebaran Islam di daerah Lampung yang pertama. Sesudahnya lambat laun secara berangsur-angsur orang-orang peminggir yang bertempat tinggal di sana, terutama di pantai selatan mulai memeluk agama Islam. Untuk membangun syiar Islam serta melakukan dakwah, maka antara Ratu Darah Putih dan Pangeran Sabakingking atau Maulana Hasanuddin mengadakan mufakat. Kata sepakat itu terkenal dengan Perjanjian Dalung Kuripan. Dalam perjanjian ini disebutkan:
“Ratu Darah Putih linggih dateng Lampung. Maka dateng
Pangeran Sabakingking, maka mufakat. Maka wiraos sapa kang
tua sapa kang anom kita iki. Maka pepatutan angadu wong anyata
kakak tua kelayan anom. Maka mati wong Lampung dingin.
Maka mati mulih wong Banten ing buri ngongkon ning ngadu
dateng pugung ing djero luang. Maka nyata anom Ratu Darah
Putih. Andika kang tua, kaula kang anom, andika ing Banten kaula
ing Lampung. Maka lami-lami Ratu Darah Putih iku ing Banten
malnya kul Lampung. Anjeneng aken Pangeran Sabakingking
ngadekaken Ratu. Maka jenengipun Susunan Sabakingking. Maka
Ratu Darah Putih angaturaken Sawunggaling. Maka mulih ing
Lampung………”
Lebih lanjut Perjanjian Dalung Kuripan itu mengatakan:
Wadon Banten lamun dipaksa dening wong Lampung dereng
sukane, salerane, Lampung kena upat-upat wadon Lampung
lamun dipaksa wong Banten dereng sukane, salarane, atawa
saenake bapakne, Banten kena upat-upat.
Lampung ngongkon Banten keduk susuk, Lampung kena upat-
upat. Lamen ana musuh Banten, Banten pangerowa Lampung
tutburi. Lamen ana musuh Lampung, Lampung manyerowa
Banten tutburi.
Sawossi janji Lampung ngalah kak Pejajaran, Dayuh kekuningan,
Kandang besi, Kedawung, Kang uba haruan, Parun kujang.
Kang anulis kang panji Pangeran Sabakingking wasta ratu mas
lelom raji sengaji guling, wasta minak bay Taluk kang den
pangan ati ning kebo.
Serat tetelu, ing Banten Dalung, Ing Lampung saksi Dalung Ing
Maninting serat kencana.
Sebagaimana dijelaskan dalam perjanjian, setelah masing-masing mengetahui mana yang tua dan siapa yang muda antara Ratu Darah Putih dengan Maulana Hasanuddin (Pangeran Sabakingking), di mana Maulana Hasanuddin lebih tua, maka kedua kakak beradik saling mufakat. Di dalam perjanjian itu, Pangeran Sabakingking berkedudukan di Banten, sementara Ratu Darah Putih berkedudukan di Lampung. Diantaranya disepakati juga bahwa apabila ada wanita Banten yang akan di paksa dengan orang Lampung karena bukan atas kemauannya, maka Lampung akan di upat-upat; sebaliknya, bila wanita Lampung yang diperlakukan demikian, Banten yang akan di upat-upat.
Di dalam Perjanjian Dalung Kuripan ada hal yang bersipat politik. Disebutkan, jika Banten berhadapan dengan musuhnya, Lampung akan membantu. Sebaliknya lagi, bila Lampung ada musuh, pihak Banten akan balik membantu. Dikarenakan musuh Banten waktu itu Pajajaran, berkat bala bantuan dari Lampung, Pajajaran dapat dikalahkan. Sebaliknya pula, saat Raden Intan menghadapi kolonial Hindia Belanda, Lampung dibantu pasukan dari Banten.
Semasa Maulana Hasanuddin (1550-1570), masyarakat Abung belum ada yang melakukan seba ke Banten. Jika di antara pemuka-pemuka Abung ada yang telah memeluk ajaran agama Islam, berarti agama Islam yang dianutnya bukan dari Banten. Seperti Minak Sengaji (orang Bugis?), suami Bolan yang diperkirakan hidup pada awal abad ke 16 masehi. Meskipun dia sudah beragama Islam namun bukan dari zaman Banten. Tapi dari zaman Malaka yang menjadi pusat dakwah Islam dalam abad ke 15 masehi.
Saat Maulana Hasanuddin melanjutkan pemerintahan di Banten yang di bentuk Sunan Gunung Jati (1530), masyarakat Abung belum ada melakukan seba ke Banten. Mereka masih tetap mempertahankan adat istiadat yang masih serba Hindu-Animisme. Hal tersebut sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Broesma, dalam bahasa Belanda: “Toen Oenyai was overleden onstonden twisten tusschen Bagindo’s klein kinderen, waarop een in monging van den Sultan van Bantam is gevold”.
Menurut apa yang di tulis Broesma, setelah Nunyai wafat terjadi perselisihan pendapat antara anak cucu Minak Paduka Begeduh. Selisih paham dari keturunannya ternyata berlangsung pelik. Sehingga atas kejadian itu, salah satu dari mereka setelah perselisihan memutuskan untuk bergabung mengikuti kekuasaan Banten. Kenyataan ini, dapat dihubungkan dengan peperangan antara Banten dan Kesultanan Palembang Darussalam yang terjadi pada tahun 1596. Di mana dalam pertempuran tersebut, Maulana Muhammad dari Banten gugur dalam peperangan.
Yang berangkat seba ke Banten dari masyarakat Abung adalah Minak Semelesem, cucu dari Nunyai (Minak Triou Disou). Ketika melakukan seba, dia memang sudah lanjut usia. Oleh karenanya, pendirian Pepadun baru dilaksanakan oleh putranya bernama Minak Paduka, bertempat di ilir Way Kunang, yaitu di Bujang Penagan. Menurut perkiraan, adat Pepadun Abung terbentuk sekitar abad ke 17 masehi. Setidak-tidaknya, sebelum berlangsung kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1672). Dengan telah dibentuknya adat Pepadun, berarti mereka sudah resmi melaksanakan penerimaan ajaran agama Islam di dalam masyarakat dan meninggalkan adat istiadat lama yang serba bersipat Hindu-Animisme.
Pada abad ke 18 masehi, adat Pepadun berkembang pula di daerah Way Kanan, Tulang Bawang dan Way Seputih. Kemudian permulaan abad ke 19 masehi, adat Pepadun disempurnakan dengan masyarakat kebuaian inti dan kebuaian-kebuaian tambahan (gabungan). Dari bentuk-bentuk penyempurnaan itu melahirkan apa yang dinamakan dengan sebutan Abung Siwou Megou; Abung Siwo Mego (Abung Sembilan Marga), Megou Pak Tulang Bawang dan Pubian Telu Suku (Pubian Tiga Suku). Sedangkan yang di sebut dengan masyarakat menganut adat tidak Pepadun, yaitu pribumi Lampung yang melaksanakan adat musyawarahnya tanpa menggunakan kursi Pepadun. Karena mereka sebagian besar banyak berdiam ditepi pantai maka di sebut adat Pesisir (Peminggir).
Demikian kisah sejumlah kebuaian yang ada di daerah Lampung. Nunyai (Minak Trio Disou), Unyi (Minak Ratu di Bumi), Nuban dan Subing (Bettan Subing) adalah anak dari Minak Paduka Begeduh. Minak Paduka Begeduh adalah putra Minak Rio Begeduh, keturunan Indra Gajah (Inder Gajah) yang menurunkan orang Abung. Sedangkan saudaranya Pa’lang menurunkan orang Pubian. Keturunan Inder Gajah dan Pa’lang inilah, selanjutnya di sebut-sebut sebagai cikal bakal kebuaian penduduk asli Lampung Tengah.
Selain pembagian berdasarkan masyarakat beradat, suku Lampung dapat pula dibagi berdasarkan logat bahasa yang dipergunakan, yaitu bahasa Lampung Belalau yang berlogat “A” dan bahasa Lampung berlogat “O”. Pembagian atas logat ini dikelompokkan menjadi 2 logat, masing-masing logat “Api” dan logat “Nyou”. Masyarakat berbahasa Lampung Belalau, yakni logat “A”, terdiri dari bahasa Jelma Daya atau Sungkai, bahasa Pemanggilan Peminggir, bahasa Melinting Peminggir dan bahasa Pubian. Sedangkan masyarakat berbahasa Lampung Abung berlogat “O”, terdiri dari bahasa Abung dan bahasa Tulang Bawang/Menggala.
Etnik suku Lampung, selain bahasa dan budayanya yang memiliki kekhasan, juga mempunyai aksara tersendiri yang di kenal dengan nama Had Lappung. Aksara ini, berupa bahasa Lampung yang dituangkan ke dalam bentuk tulisan. Bentuk tulisan di daerah Lampung pada dasarnya berasal dari aksara Pallawa (India Selatan) yang diperkirakan masuk ke Pulau Sumatera semasa kejayaan Kerajaan Sriwijaya.
Macam-macam tulisan Had Lappung, fonetik berjenis suku kata yang merupakan huruf hidup seperti dalam aksara Arab, dengan menggunakan tanda-tanda fathah di baris atas dan tanda-tanda kasrah di baris bawah, tapi tidak memakai tanda dammah di baris depan, melainkan menggunakan tanda di belakang. Masing-masing tanda mempunyai nama tersendiri. Aksara Lampung, hampir sama bentuknya dengan aksara Rencong (Aceh). Artinya, Had Lappung dipengaruhi dua unsur, yakni aksara Pallawa dan huruf Arab.
Adapun bentuk-bentuk Aksara Lampung adalah sebagai berikut: Tulisan; Ka, Ga, Nga, Pa, Ba, Ma, Ta, Da, Na, Tja, Dja, Ja, A, La, Ra, Sa, Wa, Ha, Gra. Fathah; Ulan (i), Ulan (e), Bitjek (e), Tekelubang (ng), Redjendjung (r) Datas (n). Kasrah; Bitan (u), Bitan (o), Tekelungan (w). Ditulis Belakang; Tekelingai (ai), Keleniah (h), Nengen (tanda huruf mati), Tanda Koma, Tanda Seru, Tanda Tanja (tanya) dan Tanda Titik. (berdasarkan ejaan-ejaan yang belum disempurnakan).
Masyarakat pribumi Lampung di Lampung Tengah sendiri, dalam lingkaran pergaulan hidup sehari-hari dilingkungannya secara garis besarnya terbagi ke dalam 2 (dua) kelompok dialek bahasa Lampung. Kedua dialek itu masing-masing dialek Abung dan dialek Pubian. Bahasa Lampung dialek Pubian, di pakai masyarakat etnik Lampung Tengah yang mendiami sebagian besar Kecamatan Pubian dan sebagian Kecamatan Padang Ratu.
Sementara bahasa Lampung dialek Abung digunakan masyarakat etnik Lampung Tengah yang mendiami Kecamatan Gunung Sugih, sebagian Kecamatan Padang Ratu, Kecamatan Punggur, Kecamatan Kota Gajah, Kecamatan Bumiratu Nuban, Kecamatan Terbanggi Besar, Kecamatan Terusan Nunyai, Kecamatan Selagai Lingga, Kecamatan Anak Tuha, Kecamatan Seputih Raman, Kecamatan Seputih Banyak, Kecamatan Seputih Mataram, Kacamatan Bandar Mataram, Kecamatan Bandar Surabaya, Kecamatan Rumbia, Kecamatan Way Pengubuan serta beberapa kecamatan lainnya.
Bahasa masyarakat asli Lampung Tengah, di lingkungan setempat dituturkan dalam bahasa percakapan. Berbahasa kelampungan bagi kalangan penduduk pribumi dipergunakan untuk berkomunikasi antara seorang individu dengan individu, individu dengan kelompok maupun sebaliknya. Dialek bahasa itu banyak dipakai di lingkungan keluarga, kerabat, tetangga ataupun dalam dan luar kampung yang se-berbahasa daerah.
Penduduk pribumi setempat yang beradat Abung Siwo Mego dan Pubian Telu Suku, sehari-harinya mempergunakan bahasa Lampung dengan dialek lisan. Dalam pergaulan hidup di lingkungannya, bahasa daerah merupakan suatu alat komunikasi, sebagai sistem untuk menyampaikan suatu hal. Bila dilihat dari cara penuturannya, dialek bahasa yang digunakan mempunyai sejumlah logat. Dialek dan logat inilah yang menjadi etos bahasa penduduk asli di keseharian mereka.
Kalau meninjau dari sudut bahasa daerah yang dituturkan, masyarakat etnik Lampung pada umumnya dapat dibedakan atas 2 (dua) kelompok: (1) Masyarakat berdialek Api; yaitu penduduk yang mendiami daerah Way Kanan, Sungkai, Pesisir, Melinting, Pubian, serta (2) Masyarakat berdialek Nyou; yakni dialek Abung dan Menggala. Sedangkan jika ditilik dari adatnya, masyarakat etnik Lampung dikelompokkan atas masyarakat Pepadun (Abung, Menggala, Sungkai, Waykanan dan Pubian) serta Sebatin (Pesisir).
Dari pembagian ini, pribumi Lampung Tengah termasuk masyarakat berdialek ”O” dan ”A” dari sudut bahasa dan masyarakat Pepadun dari sudut adat. Hal tersebut terlihat pula dari kebudayaan setempat yang memang tergolong ke dalam masyarakat Pepadun. Kalaupun ada suku asli masyarakat Sebatin (Pesisir), keberadaannya di sini hanya sebagian kecil saja. Sebab mayoritas masyarakatnya sebagian besar beradat Pepadun, dengan bahasa Lampung berdialek Abung dan sebagian dialek Pubian.
Di tengah kehidupan sehari-hari di lingkungan penduduk setempat menunjukkan suatu corak keaslian yang khas dalam hubungan sosial antar masyarakat Lampung. Mereka memiliki prinsip-prinsip yang di anggap telah menjadi pijakan di dalam kehidupannya. Prinsip-prinsip tersebut sebagai pedoman hidup baik baginya sendiri, keluarga, kerabat maupun kelompok sosial yang secara garis besarnya oleh mereka disimpulkan ke dalam 5 (lima) prinsip.
Kelima prinsip hidup tersebut, yakni Piil Pesengiri, Sakai Sambaian, Nemui Nyimah, Nengah Nyappur, Bejuluk Beadek. Kelima prinsip ini tuntunan hidup turun temurun yang menjadi panutan bagi masyarakat pribumi Lampung di dalam kehidupan bermasyarakat. Prinsip-prinsip itu, bagi penduduk asli Lampung sejogyanya menjadi landasan individu terhadap individu lainnya, individu dengan kelompok maupun antar kelompok masyarakat yang ada.
“Piil Pesengiri”, dimaknakan sebagai segala sesuatu yang berhubungan dengan harga diri, perilaku, menjaga sikap, menegakkan nama baik dan martabat secara pribadi maupun berkelompok agar senantiasa dipertahankan keutuhannya. Dalam hal-hal tertentu, seorang individu suku asli Lampung dapat mempertaruhkan apa saja, termasuk nyawanya demi untuk mempertahankan piil pesengiri itu. Dengan memiliki piil pesengirinya, seseorang bisa berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu, walaupun hal tersebut akan merugikan dirinya secara materi.
“Sakai Samabaian”, mengandung arti yang cukup luas, termasuk diantaranya tuntunan serta pola hidup untuk dapat saling tolong menolong antar sesama, bahu membahu serta saling memberikan sesuatu kepada pihak lain yang memerlukannya. Dalam hal ini, tuntunan serta pola hidup dimaksud tidak terbatas pada sesuatu yang bersipat materi belaka, tapi juga dalam arti tuntunan berbentuk moral, termasuk sumbangan tenaga, pikiran dan lain sebagainya.
“Nemui Nyimah”, berarti hendaknya bermurah hati, ramah tamah terhadap semua pihak dalam satu klan maupun di luar klan dan juga terhadap siapa saja yang berhubungan dengan mereka. Jadi, selain bermurah hati dengan memberikan sesuatu yang ada padanya, pada pihak lain juga prilaku bersopan santun harus pula dilakukan, termasuk dalam bertutur sapa terhadap tamu mereka.
“Nengah Nyappur”, yakni tata cara pergaulan masyarakat Lampung dengan sikap membuka diri dengan masyarakat umum agar berpengetahuan luas dan ikut berpartisipasi terhadap segala sesuatu yang sifatnya baik dalam pergaulan dan kegiatan sehingga dapat membawa kemajuan.
“Bejuluk Beadek”, adalah prinsip yang didasarkan kepada “titei gemattei”, diwarisi secara turun temurun sejak zaman nenek moyang dahulu. Tata cara ketentuan pokok yang selalu di pakai diikuti (titei gemattei), diantaranya pemberian gelar sebagai panggilan terhadapnya. Bagi seseorang, baik laki-laki maupun wanita, jika sudah menikah di beri adek (beadek) yang biasanya pemberian adek ini dilakukan pada saat rangkaian upacara atau waktu pelaksanaan suatu perkawinan/pernikahan. Dalam kaitan ini, Bejuluk Beadek akan diberikan setelah seorang individu melaksanakan adat sebagaimana titei gemattei (Oleh: Akhmad Sadad/Disarikan Dari Berbagai Sumber).
Kenapa dalam tulisan saudara Minak Sengaji ( orang Bugis ? ), kira2 ada hubungan Minak Sengaji dengan Bugis ???
ReplyDeleteTolong jelaskan arti dari dan penjelasan dari kitab kuntra raja niti. Yg menyebutkan siji batin telu suku tuha...... Dan seterus ya. Tolong d artikan
ReplyDeleteAda yg benar dan ada juga yg ngawur ceritanya
ReplyDeleteKuntara Raja Niti isinya tidak seperti itu, ini jelas salah
ReplyDelete